Kamis, 14 Januari 2016



Allah ada di mana-mana. Di barat dan  di timur. Di utara dan selatan. Di dalam tubuh dan luar tubuh. Di tempat jauh dan dekat. Singkatnya Allah ada di mana-mana, tetapi tidak terikat oleh alam dan tidak tergantung pada ciptaan-Nya.

Bagi orang beriman, ketika menatap ke arah barat yang tampak adalah kekuasaan Allah. Begitu juga ketika melihat ke timur, ke utara, ke selatan, ke atas, dan ke bawah. Melihat  alam semesta semua menyembulkan kesan akan Kemahahebatan Allah. Dan semuanya itu tercipta untuk manusia.

Eloknya goresan “tinta emas” sinar matahari pagi di ufuk timur, lukisan pelangi yang melengkung di langit, debur ombak yang tiada henti berkejar-kejaran, indahnya alam yang memiliki keserasian, kesempurnaan, keharmonisan dan keagungan, semuanya memantulkan kesan mendalam bahwa yang menciptakan sungguh Maha Indah, Maha Cerdas, dan Maja Piawai. Dalam al-Qur’an ditegaskan, “Innallaha ‘ala kulli syaiin qodir.” Artinya, Allah berkuasa atas segala sesuatu.

Jika dalam suasana tenang kita menengok ke dalam diri sendiri, akan semakin tertegun lagi. Betapa tidak, begitu sempurnanya fisik kita, begitu lengkap komponen jasadnya. serta Allah memberi daya tahan terhadap tubuh yang tiada tara.

Dunia kedokteran geleng-geleng menyaksikan kehebatan Allah. Sebut satu saja sebagai contoh yang Allah pertontonkan kepada kita. Otak yang Allah benamkan di kepala manusia dilengkapi 16 miliar  syaraf yang ujungnya disambungkan ke sekujur tubuh.

Otak yang sedemikian sempurna menyebabkan manusia memiliki intelektual tinggi dengan ‘kadar’ beragam yang jumlahnya sebanyak manusia. Jika ada beberapa orang sama-sama pandai, bisa dipastikan daya nalar, kemampuan analisis, dan ketajaman otaknya pasti berbeda.

Dunia tidak pernah sepi dari pemikiran manusia. Ada ahli bidang science, filosuf,  sejarah, tasauf, tafsir, dsb. Semua keahlian yang muncul karena kehebatan otak manusia. Tetapi Allah berfirman,. “Tidak Aku beri ilmu (kepada manusia, Pen) kecuali hanya sedikit.” Dengan penegasan ini, manusia diharapkan menyadari keterbatasan kemampuan otaknya.

Perbandingan ilmu Allah dengan ilmu manusia, dilukiskan oleh Nabi Muhammad Saw, seperti orang berada di pojok lautan lepas.  Orang tadi mencelupkan telunjuk jarinya ke hamparan air laut yang tiada bertepi itu. Air yang menetes dari telunjuk tangan orang itu merupakan gambaran akan ilmu manusia, sedang air di lautan luas yang “tersisa” adalah gambaran dari ilmu Allah. Sungguh luar biasa!

Menyadari akan hal itu, tidak ada ruang di hati manusia untuk menepuk dada. Justru sebaliknya manusia semakin merunduk serendah-rendahnya. Jiwanya mengakui akan keagungan Allah, sekaligus mengakui bahwa dirinya banyak kekurangan.

Orang yang tidak mau mengimani Allah, sebenarnya mereka hanyalah pura-pura. Sikap seperti ini ada sejak dulu. Menurut al-Qur’an ada tiga tipe manusia. Ada yang beriman, munafik dan ada pula yang kafir.

Orang beriman percaya sepenuh jiwanya tentang adanya Allah. Orang munafiq jiwanya selalu mendua, jika bertemu orang iman, dia ikut percaya, tetapi kalau bertemu dengan orang kafir dia menyatakan ingkar. Sedang orang kafir, mengunci rapat-rapat jiwanya dari pengaruh kebenaran.

Di hati mereka ada penyakit, dan Allah menambahkan penyakit lain. Di antara penyakitnya berupa sombong, riya’ (suka pamer), iri, dengki, dan sifat negatif lain. Orang kafir tidak bisa melihat Allah akibat ulahnya sendiri meski dia sadar bahwa Allah ada di mana-mana, termasuk dalam diri orang itu. Mata hatinya tertutup kesombongan sehingga menjadi buta hati dan tuli.

Orang terpilih akan selalu mengenal Allah dengan sebaik-baik perkenalan. Abu Bakar Ra ketika ditanya bagaimana dia mengenal Allah, dia menjawab, “Saya mengenal Allah dari Allah. Kalau Dia tidak ada, tida mungkin aku bisa mengenal-Nya. Dan ketidak mampuan mengenal Allah itulah pengenalan kepada Allah.”(*)


0 komentar:

Posting Komentar

Unordered List

Sample Text

Diberdayakan oleh Blogger.

Lembaga Pelatihan "The Power Of Love"

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget