Allah
ada di mana-mana. Di barat dan di timur.
Di utara dan selatan. Di dalam tubuh dan luar tubuh. Di tempat jauh dan dekat.
Singkatnya Allah ada di mana-mana, tetapi tidak terikat oleh alam dan tidak tergantung
pada ciptaan-Nya.
Bagi
orang beriman, ketika menatap ke arah barat yang tampak adalah kekuasaan Allah.
Begitu juga ketika melihat ke timur, ke utara, ke selatan, ke atas, dan ke
bawah. Melihat alam semesta semua
menyembulkan kesan akan Kemahahebatan Allah. Dan semuanya itu tercipta untuk
manusia.
Eloknya
goresan “tinta emas” sinar matahari pagi di ufuk timur, lukisan pelangi yang
melengkung di langit, debur ombak yang tiada henti berkejar-kejaran, indahnya
alam yang memiliki keserasian, kesempurnaan, keharmonisan dan keagungan,
semuanya memantulkan kesan mendalam bahwa yang menciptakan sungguh Maha Indah,
Maha Cerdas, dan Maja Piawai. Dalam al-Qur’an ditegaskan, “Innallaha ‘ala kulli syaiin qodir.” Artinya, Allah berkuasa atas
segala sesuatu.
Jika
dalam suasana tenang kita menengok ke dalam diri sendiri, akan semakin tertegun
lagi. Betapa tidak, begitu sempurnanya fisik kita, begitu lengkap komponen
jasadnya. serta Allah memberi daya tahan terhadap tubuh yang tiada tara.
Dunia
kedokteran geleng-geleng menyaksikan kehebatan Allah. Sebut satu saja sebagai
contoh yang Allah pertontonkan kepada kita. Otak yang Allah benamkan di kepala
manusia dilengkapi 16 miliar syaraf yang
ujungnya disambungkan ke sekujur tubuh.
Otak
yang sedemikian sempurna menyebabkan manusia memiliki intelektual tinggi dengan
‘kadar’ beragam yang jumlahnya sebanyak manusia. Jika ada beberapa orang
sama-sama pandai, bisa dipastikan daya nalar, kemampuan analisis, dan ketajaman
otaknya pasti berbeda.
Dunia
tidak pernah sepi dari pemikiran manusia. Ada ahli bidang science,
filosuf, sejarah, tasauf, tafsir, dsb.
Semua keahlian yang muncul karena kehebatan otak manusia. Tetapi Allah
berfirman,. “Tidak Aku beri ilmu (kepada
manusia, Pen) kecuali hanya sedikit.” Dengan penegasan ini, manusia
diharapkan menyadari keterbatasan kemampuan otaknya.
Perbandingan
ilmu Allah dengan ilmu manusia, dilukiskan oleh Nabi Muhammad Saw, seperti
orang berada di pojok lautan lepas.
Orang tadi mencelupkan telunjuk jarinya ke hamparan air laut yang tiada
bertepi itu. Air yang menetes dari telunjuk tangan orang itu merupakan gambaran
akan ilmu manusia, sedang air di lautan luas yang “tersisa” adalah gambaran
dari ilmu Allah. Sungguh luar biasa!
Menyadari
akan hal itu, tidak ada ruang di hati manusia untuk menepuk dada. Justru
sebaliknya manusia semakin merunduk serendah-rendahnya. Jiwanya mengakui akan
keagungan Allah, sekaligus mengakui bahwa dirinya banyak kekurangan.
Orang
yang tidak mau mengimani Allah, sebenarnya mereka hanyalah pura-pura. Sikap seperti
ini ada sejak dulu. Menurut al-Qur’an ada tiga tipe manusia. Ada yang beriman,
munafik dan ada pula yang kafir.
Orang
beriman percaya sepenuh jiwanya tentang adanya Allah. Orang munafiq jiwanya
selalu mendua, jika bertemu orang iman, dia ikut percaya, tetapi kalau bertemu
dengan orang kafir dia menyatakan ingkar. Sedang orang kafir, mengunci
rapat-rapat jiwanya dari pengaruh kebenaran.
Di
hati mereka ada penyakit, dan Allah menambahkan penyakit lain. Di antara
penyakitnya berupa sombong, riya’ (suka pamer), iri, dengki, dan sifat negatif
lain. Orang kafir tidak bisa melihat Allah akibat ulahnya sendiri meski dia
sadar bahwa Allah ada di mana-mana, termasuk dalam diri orang itu. Mata hatinya
tertutup kesombongan sehingga menjadi buta hati dan tuli.
Orang
terpilih akan selalu mengenal Allah dengan sebaik-baik perkenalan. Abu Bakar Ra
ketika ditanya bagaimana dia mengenal Allah, dia menjawab, “Saya mengenal Allah
dari Allah. Kalau Dia tidak ada, tida mungkin aku bisa mengenal-Nya. Dan
ketidak mampuan mengenal Allah itulah pengenalan kepada Allah.”(*)
0 komentar:
Posting Komentar