Rabu, 20 Mei 2015



Seorang karyawan percetakan –di kota kecil—mengeluh. Pekerjaan di bagian design terus menumpuk. Padahal dia merasa maksimal bekerja di kantor, setiap hari bekerja mulai pukul 08 s/d pukul 16.00. Waktu kerja 9 jam tersebut terasa tidak cukup untuk menyelesaikan pekerjaan rutin.

Terkadang dia lembur, dan sebagian pekerjaan kantor digarap di rumah agar pekerjaan berkurang. Tetapi antara waktu yang tersedia dengan volume pekerjaan seolah tidak sebanding. Pekerjaan yang kemarin belum selesai, besoknya ketambahan lagi pekerjaan baru. Kapan pekerjaan akan selesai kalau setiap hari ditambah pekerjaan baru lagi,” keluhnya.

Bagi perusahaan sukses, volume pekerjaan tidak akan surut. Semakin terkenal tempat usaha, semakin banyak garapan. Jangan bermimpi pekerjaan berkurang. Justru akan semakin banyak dan tak kunjung habis. Memang itu yang dicari, banyaknya pekerjaan tambah pula rezekinya.

Bangsa Indonesia, memiliki jam kerja 9 jam. Beda dengan Negara maju jumlah jam kerjanya 10 atau 12 jam perhari. Manusia di Negara maju seperti robot. Waktu hanya untuk bekerja dan bekerja. Orang yang demikian ini bisa “renggang” hubungannya dengan Allah. Mereka mengisi waktu dengan urusan dunia. Anehnya, semakin banyak waktu dipakai, waktu semakin kurang.  Benar sinyalemen Nabi Muhammad SAW, “Kalau seseorang di dadanya penuh dengan urusan duniawi Allah akan menambahkan kesibukan yang lain sehingga lupa kepada-Allah”.

Allah menyediakan waktu siang dan malam masing-masing 12 jam. Itu sudah lebih dari cukup. Allah sudah “memperhitungkannya”. Waktu 24 jam merupakan “harga mati”. Artinya, tidak mungkin ditambah atau dikurangi lagi. Allah sudah merancang semua itu secara tepat.  

Bagi orang tertentu, waktu 24 jam ada yang memanfaatkan secara penuh, bekerja 9 jam sehingga malam harinya bisa istirahat. Untuk orang tertentu, jam kerja lebih dari 9 jam sehingga mengurangi waktu istirahat. Seorang presiden waktu bekerjanya lebih dari sepuluh jam. BJ Habibie semasa menjadi Presiden RI mengaku tidurnya hanya 3 jam per hari. Ia sering kali berhenti bekerja dan menuju tempat tidur setelah diingatkan oleh ajudan atau paspamres, waktu sudah larut malam. Habibie sosok manusia maniak kerja.

Sebenarnya, bukan soal 24 jam-nya yang menyebakan terasa kurang.  Melainkan cara memanfaatkannya. Ada orang yang tidak efektif menggunakan waktu, boros, tidak fokus  serta tidak terschedule. Akibatnya, waktu terasa kurang. Beda jika terbiasa tertib, tak perlu lembur. Semua bisa dibereskan dalam 9 jam kerja. Silahkan dicoba. (*)





Menuju Sa’adah...
Bahagia? Iya... bahagia!.

Sebuah kata yang cukup pendek, hanya tujuh huruf, namun sangat penting, bermakna, dan dibutuhkan. Bahagia (sa’adah, Bhs. Arab atau happy, Bhs Inggris) mudah diucapkan, namun tidak mudah diwujudkan. Bagi umat beragama bahagia –kalau bisa—tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat.

Kebahagiaan selalu diidamkan semua orang. Mulai anak-anak sampai orang tua. Laki maupun perempuan, anak atau dewasa. Pemimpin maupun rakyat. Orang kota atau orang desa. Semuanya ingin bahagia.

Yang perlu dicatat, bahagia itu sudah Allah ciptakan ada sejak dulu, dan terus berlaku sampai sekarang, bahkan juga akan terus ada sampai kapan pun. Bahagia sering dibahas, tetapi bagi sebagian orang, terasa kian jauh, menganga dan jaraknya semakin lebar. Salah satu bukti adanya hal ini adalah jumlah orang prihatin, sedih, stres dan depresi di bumi mana pun terus bertambah, termasuk di negara maju termasuk di Indonesia terus bertambah. Jumlah orang stres di Indonesia naik terus. Itu berarti mereka tidak bahagia.

Kata bahagia begitu merakyat, familiar dalam ucapan dan tidak asing di telinga. Sekali lagi bahagia diinginkan semua orang. Sayangnya bahagia seperti fatamorgana. Tampak nyata dari kejauhan. Tetapi semakin didekati kian menghilang tanpa bekas. Ia seperti impian indah yang bertaburan di langit tapi sulit ditarik ke bumi.

Bahagia  bagi sebagian orang sering menjadi angan-angan yang sulit menjadi kenyataan. Meski demikian, bukan berarti tidak dapat digapai. Setiap orang pasti pernah merasakan bahagia sebagaimana mereka pernah merasakan sedih. Tugas kita, bagaimana memberi makna terhadap setiap rasa yang sedang berkecamuk dalam dada.

KHM Isa Anshari dalam bukunya Mujahid Da’wah menulis beberapa pegangan bagi kita. Yaitu, agama hanya akan dapat dirasakan oleh orang yang menegakkan dia dalam dirinya. Bahagia (sa’adah) hanya akan dirasakan oleh orang yang membela keyakinan, kebenaran dan keadilan. Kemenangan hakiki hanya diberikan kepada para  pejuang yang  rela berkorban, kuat menahankan penderitaan dan kepapaan, dst.

Seorang ibu datang kepada nabi Saw. Dia menanyakan bagaimana nasib tiga anaknya yang ikut berperang bersama nabi. Setelah mendengar dua anaknya meninggal, ibu tadi tampak bahagia. Dia bersyukur kepada Allah karena telah menjadikan dua anaknya menjadi hamba pilihan yang mati syahid. Penghargaan terhadap orang yang mati syahid tidak ada lain kecuali sorga. Pikiran ibu tadi  melebihi pikiran orang kebanyakan yang melihat bahagia hanya di dunia.

Pertanyaan kita, apa saja yang menyebabkan seseorang merasa bahagia? Insya Allah buku ini menjawab pertanyaan ini. Mudah-mudahan uraian ini dapat membuka cakrawala kita dan mempertajam dan memperluas pemahaman. Semoga. (*)


Unordered List

Sample Text

Diberdayakan oleh Blogger.

Lembaga Pelatihan "The Power Of Love"

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget