Menuju Sa’adah...
Bahagia?
Iya... bahagia!.
Sebuah kata
yang cukup pendek, hanya tujuh huruf, namun sangat penting, bermakna, dan
dibutuhkan. Bahagia (sa’adah, Bhs.
Arab atau happy, Bhs Inggris) mudah diucapkan, namun tidak
mudah diwujudkan. Bagi umat beragama bahagia –kalau bisa—tidak hanya di dunia,
tetapi juga di akhirat.
Kebahagiaan
selalu diidamkan semua orang. Mulai anak-anak sampai orang tua. Laki maupun
perempuan, anak atau dewasa. Pemimpin maupun rakyat. Orang kota atau orang
desa. Semuanya ingin bahagia.
Yang perlu
dicatat, bahagia itu sudah Allah ciptakan ada sejak dulu, dan terus berlaku sampai
sekarang, bahkan juga akan terus ada sampai kapan pun. Bahagia sering dibahas,
tetapi bagi sebagian orang, terasa kian jauh, menganga dan jaraknya semakin
lebar. Salah satu bukti adanya hal ini adalah jumlah orang prihatin, sedih,
stres dan depresi di bumi mana pun terus bertambah, termasuk di negara maju termasuk
di Indonesia terus bertambah. Jumlah orang stres di Indonesia naik terus. Itu berarti
mereka tidak bahagia.
Kata
bahagia begitu merakyat, familiar dalam ucapan dan tidak asing di telinga.
Sekali lagi bahagia diinginkan semua orang. Sayangnya bahagia seperti
fatamorgana. Tampak nyata dari kejauhan. Tetapi semakin didekati kian
menghilang tanpa bekas. Ia seperti impian indah yang bertaburan di langit tapi
sulit ditarik ke bumi.
Bahagia bagi sebagian orang sering menjadi
angan-angan yang sulit menjadi kenyataan. Meski demikian, bukan berarti tidak
dapat digapai. Setiap orang pasti pernah merasakan bahagia sebagaimana mereka
pernah merasakan sedih. Tugas kita, bagaimana memberi makna terhadap setiap
rasa yang sedang berkecamuk dalam dada.
KHM Isa
Anshari dalam bukunya Mujahid Da’wah menulis beberapa pegangan bagi kita.
Yaitu, agama hanya akan dapat dirasakan oleh orang yang menegakkan dia dalam
dirinya. Bahagia (sa’adah) hanya akan
dirasakan oleh orang yang membela keyakinan, kebenaran dan keadilan. Kemenangan
hakiki hanya diberikan kepada para
pejuang yang rela berkorban, kuat
menahankan penderitaan dan kepapaan, dst.
Seorang ibu
datang kepada nabi Saw. Dia menanyakan bagaimana nasib tiga anaknya yang ikut
berperang bersama nabi. Setelah mendengar dua anaknya meninggal, ibu tadi
tampak bahagia. Dia bersyukur kepada Allah karena telah menjadikan dua anaknya
menjadi hamba pilihan yang mati syahid. Penghargaan terhadap orang yang mati
syahid tidak ada lain kecuali sorga. Pikiran ibu tadi melebihi pikiran orang kebanyakan yang
melihat bahagia hanya di dunia.
Pertanyaan
kita, apa saja yang menyebabkan seseorang merasa bahagia? Insya Allah buku ini
menjawab pertanyaan ini. Mudah-mudahan uraian ini dapat membuka cakrawala kita dan
mempertajam dan memperluas pemahaman. Semoga. (*)
0 komentar:
Posting Komentar