Walau tidak
ada yang menjamin, empat pendapat tentang bahagia—harta, gelar, jabatan, dan
agama—itu benar adanya. Tidak percaya? Coba tanyakan salah satu saja, yaitu
soal harta. Tanyakan kepada orang miskin, apa penyebab bahagia bagi mereka?
Jawabnya akan mengatakan bahagia itu kalau punya banyak harta. Sebaliknya bagi
orang kaya harta bukan jaminan bisa bahagia.
Begitu juga halnya dengan gelar dan jabatan, bagi
orang yang belum merasakan lezatnya gelar dan jabatan melihat keduanya penuh
daya tarik, padahal dalam kenyataan banyak orang pusing karena gelar dan
jabatan.
Konon, ribuan
tahun, para pemikir sibuk membincangkan kebahagiaan. Di mata para ahli, kebahagiaan
adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersifat kondisional. Kebahagiaan
bersifat temporal. Jika dia sedang kejayaan, di situ ada kebahagiaan.
Dalam
pandangan ini, orang yang sedang jatuh, hilanglah kebahagiaannya. Tidak ada
kebahagiaan abadi dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya sesaat,
tergantung kondisi eksternal manusia. Inilah gambaran kondisi kejiwaan
masyarakat Barat: "Mereka selalu mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa
puas.
Dalam
Islam, kebahagian itu tidak bersifat raga, atau harta. Kebahagiaan merupakan kondisi
hati yang dipenuhi iman dan amal sesuai imannya. Coba ingat Bilal bin Rabah, dia
merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi disiksa.
Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan
dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Para
sahabat nabi, rela meninggalkan kampung halamannya demi mempertahankan iman.
Mereka bahagia. Hidup dengan keyakinan dan menjalankan keyakinan.
Imam al Ghazali,
mengatakan puncak kebahagiaan manusia, jika berhasil mencapai ma'rifatullah, atau mengenal Allah Swt. "Ketahuilah
bahagia tiap sesuatu bila terasa nikmat dan lezat menurut perasaan masing-masing.
Kelezatan (mata) melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara
yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain.
Ada pun
kelezatan hati ialah ma'rifat kepada Allah, karena hati dijadikan tidak lain
untuk mengingat Tuhan. Seorang rakyat jelata sangat gembira kalau dia berkenalan
dengan seorang pejabat tinggi atau menteri; kegembiraan itu naik berlipat-ganda
kalau dia dapat berkenalan yang lebih tinggi lagi misalnya raja atau presiden.
Tentu saja
berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari kegembiraan. Lebih dari apa yang
dapat dibayangkan oleh manusia, sebab tidak ada yang lebih tinggi
dari kemuliaan Allah. Dan oleh sebab itu tidak ada ma'rifat yang lebih lezat daripada ma'rifatullah.
Maka ma'rifalullah adalah buah dari ilmu.
Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan. bahwa tiada Tuhan selain
Allah" (Laa ilaaha illallah).
Untuk itulah, untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi, manusia wajib mengenal
Allah. Caranya, dengan mengenal ayat-ayat-Nya, baik ayat kauniyah maupun ayat
qauliyah.
Banyak ayat
al Quran yang memerintahkan manusia memperhatikan dan memikirkan tentang
fenomana alam semesta, termasuk memikirkan dirinya sendiri. Disamping ayat-ayat
kauniyah. Allah SWT juga menurunkan ayat-ayat qauliyah, berupa wahyu verbal
kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad Saw. Karena itu, dalam QS
Ali Imran 18-19, disebutkan, bahwa orang-orang yang berilmu adalah orang-orang
yang bersaksi bahwa "Tiada tuhan selain Allah", dan bersaksi bahwa
"Sesungguhnya ad-Din dalam pandangan Allah Swt adalah Islam."
Inilah yang
disebut ilmu yang mengantarkan kepada peradaban dan kebahagiaan. Setiap lembaga
pendidikan. khususnya lembaga pendidikan Islam. harus mampu mengantarkan
sivitas akademika-nya menuju kepada tangga kebahagiaan yang hakiki dan abadi.
Kebahagiaan yang sejati adalah yang terkait antara dunia dan akhirat.
Kriteria
inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu program pendidikan
(ta'dib) berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan dalam Islam bukan diukur
dari berapa mahalnya uang hayaran sekolah; berapa banyak yang diterima di
Perguruan Tinggi Negeri dan sebagainya. Tetapi apakah pendidikan itu mampu
melahirkan manusia-manusia yang beradab yang mengenal Tuhannya dan beribadah
kepada Penciptanya.
Manusia-manusia
yang berilmu seperti inilah yang hidupnya hahagia dalam keimanan dan keyakinan:
yang hidupnya tidak terombang-ambing oleh keadaan. Dalam kondisi apa pun
hidupnya bahagia, karena dia mengenal Allah, ridha dengan keputusanNya dan
berusaha menyelaraskan hidupnya dengan segala macam peraturan Allah yang
diturunkan melalui utusan-Nya.
Sebagai
orang Muslim, kita tentu mendambakan hidup bahagia semacarn itu; hidup dalam
keyakinan: mulai dengan mengenal Allah dan ridha, menerima
keputusan-keputusan-Nva, serta ikhlas menjalankan aturan-aturan-Nya. Kita
mendambakan diri kita merasa bahagia dalam menjalankan shalat, kita bahagia
menunaikan zakat, kita bahagia bersedekah, kita bahagia menolong orang lain,
dan kita pun bahagia menjalankan tugas amar ma'ruf nahi munkar.
"Dan
jika kita fakir miskin, senangkan pula hati kita! Karena telah terlepas dari
suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang sering menimpa orang-orang kaya.
Senangkanlah hati karena tak ada orang yang akan hasad dan dengki lagi,
lantaran kemiskinan..."
"Kalau
engkau dilupakan orang, kurang masyhur, senangkan! Karena lidah tidak banyak
yang mencela, mulut tak banyak mencaci..." Mudah-mudahan. Allah
mengaruniai kita ilmu yang mengantarkan kita pada sebuah keyakinan dan
kebahagiaan abadi, dunia dan akhirat. (*)