Rabu, 24 Juni 2015






Walau tidak ada yang menjamin, empat pendapat tentang bahagia—harta, gelar, jabatan, dan agama—itu benar adanya. Tidak percaya? Coba tanyakan salah satu saja, yaitu soal harta. Tanyakan kepada orang miskin, apa penyebab bahagia bagi mereka? Jawabnya akan mengatakan bahagia itu kalau punya banyak harta. Sebaliknya bagi orang kaya harta bukan jaminan bisa bahagia.

Begitu  juga halnya dengan gelar dan jabatan, bagi orang yang belum merasakan lezatnya gelar dan jabatan melihat keduanya penuh daya tarik, padahal dalam kenyataan banyak orang pusing karena gelar dan jabatan.
Konon, ribuan tahun, para pemikir sibuk membincangkan kebahagiaan. Di mata para ahli, kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersifat kondisional. Kebahagiaan bersifat temporal. Jika dia sedang kejayaan, di situ ada kebahagiaan.
Dalam pandangan ini, orang yang sedang jatuh, hilanglah kebahagiaannya. Tidak ada kebahagiaan abadi dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya sesaat, tergantung kondisi eksternal manusia. Inilah gambaran kondisi kejiwaan masyarakat Barat: "Mereka selalu mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa puas.
Dalam Islam, kebahagian itu tidak bersifat raga, atau harta. Kebahagiaan merupakan kondisi hati yang dipenuhi iman dan amal sesuai imannya. Coba ingat Bilal bin Rabah, dia merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Para sahabat nabi, rela meninggalkan kampung halamannya demi mempertahankan iman. Mereka bahagia. Hidup dengan keyakinan dan menjalankan keyakinan.
Imam al Ghazali, mengatakan puncak kebahagiaan manusia, jika berhasil mencapai ma'rifatullah, atau mengenal Allah Swt. "Ketahuilah bahagia tiap sesuatu bila terasa nikmat dan lezat menurut perasaan masing-masing. Kelezatan (mata) melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain.
Ada pun kelezatan hati ialah ma'rifat kepada Allah, karena hati dijadikan tidak lain untuk mengingat Tuhan. Seorang rakyat jelata sangat gembira kalau dia berkenalan dengan seorang pejabat tinggi atau menteri; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan yang lebih tinggi lagi misalnya raja atau presiden.
Tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari kegembiraan. Lebih dari apa yang dapat dibayangkan  oleh manusia, sebab tidak ada yang lebih tinggi dari kemuliaan Allah. Dan oleh sebab itu tidak ada ma'rifat yang lebih lezat daripada ma'rifatullah.
Maka ma'rifalullah adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan. bahwa tiada Tuhan selain Allah" (Laa ilaaha illallah). Untuk itulah, untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi, manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan mengenal ayat-ayat-Nya, baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah.
Banyak ayat al Quran yang memerintahkan manusia memperhatikan dan memikirkan tentang fenomana alam semesta, termasuk memikirkan dirinya sendiri. Disamping ayat-ayat kauniyah. Allah SWT juga menurunkan ayat-ayat qauliyah, berupa wahyu verbal kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad Saw. Karena itu, dalam QS Ali Imran 18-19, disebutkan, bahwa orang-orang yang berilmu adalah orang-orang yang bersaksi bahwa "Tiada tuhan selain Allah", dan bersaksi bahwa "Sesungguhnya ad-Din dalam pandangan Allah Swt adalah Islam."
Inilah yang disebut ilmu yang mengantarkan kepada peradaban dan kebahagiaan. Setiap lembaga pendidikan. khususnya lembaga pendidikan Islam. harus mampu mengantarkan sivitas akademika-nya menuju kepada tangga kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Kebahagiaan yang sejati adalah yang terkait antara dunia dan akhirat.
Kriteria inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu program pendidikan (ta'dib) berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan dalam Islam bukan diukur dari berapa mahalnya uang hayaran sekolah; berapa banyak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri dan sebagainya. Tetapi apakah pendidikan itu mampu melahirkan manusia-manusia yang beradab yang mengenal Tuhannya dan beribadah kepada Penciptanya.
Manusia-manusia yang berilmu seperti inilah yang hidupnya hahagia dalam keimanan dan keyakinan: yang hidupnya tidak terombang-ambing oleh keadaan. Dalam kondisi apa pun hidupnya bahagia, karena dia mengenal Allah, ridha dengan keputusanNya dan berusaha menyelaraskan hidupnya dengan segala macam peraturan Allah yang diturunkan melalui utusan-Nya.
Sebagai orang Muslim, kita tentu mendambakan hidup bahagia semacarn itu; hidup dalam keyakinan: mulai dengan mengenal Allah dan ridha, menerima keputusan-keputusan-Nva, serta ikhlas menjalankan aturan-aturan-Nya. Kita mendambakan diri kita merasa bahagia dalam menjalankan shalat, kita bahagia menunaikan zakat, kita bahagia bersedekah, kita bahagia menolong orang lain, dan kita pun bahagia menjalankan tugas amar ma'ruf nahi munkar.
"Dan jika kita fakir miskin, senangkan pula hati kita! Karena telah terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang sering menimpa orang-orang kaya. Senangkanlah hati karena tak ada orang yang akan hasad dan dengki lagi, lantaran kemiskinan..."
"Kalau engkau dilupakan orang, kurang masyhur, senangkan! Karena lidah tidak banyak yang mencela, mulut tak banyak mencaci..." Mudah-mudahan. Allah mengaruniai kita ilmu yang mengantarkan kita pada sebuah keyakinan dan kebahagiaan abadi, dunia dan akhirat. (*)
 

0 komentar:

Posting Komentar

Unordered List

Sample Text

Diberdayakan oleh Blogger.

Lembaga Pelatihan "The Power Of Love"

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget