Tulisan dengan judul “Sehat atau
Sakit Bersyukurlah” Ini ditulis ketika sedang berada di RSUD Haryoto. Yaitu, ketika mendampingi ibu – sudah almarhumah-- yang berbaring lemah di rumah sakit. Waktu itu, tiga tahun silam, saya menghayati
suasana batin. Selama ibu sakit terasa benar bahwa nikmat sehat itu
begitu mahal dan berharga.
Mungkin bagi dokter, suasana rumah
sakit itu biasa. Sebab setiap hari menjadi tugas rutinnya. Tetapi bagi
kebanyakan orang, khususnya yang mengantar keluarganya berobat, merenungi sakit
dan sehat itu sungguh menggores jiwa. Ada kenangan dan nilai tersendiri.
Ada pemandangan yang tidak lazim.
Selama 24 jam rumah sakit terus “hidup”. Ada yang datang dengan luka parah, ada
yang didorong di atas kursi roda, di dorong di atas ranjang, ada yang dikirim
menuju ICU, ada yang tiba-tiba menangis, memecah keheningan malam karena
saudaranya dipanggil yang Maha Kuasa, ada yang dinaikkan ke ambulance, ada yang
ceria, senyum dan tertawa karena si pasien boleh pulang, dll.
Semua itu memperkaya batin. Ada
lompatan pikiran yang tidak seperti biasanya ketika berada di rumah yang selalu
datar-datar saja. Ada kesadaran spiritual di dalam jiwa bahwa nikmat sehat itu
sungguh pemberian yang luar biasa dari Sang Pencipta. Sungguh tak tahu diri
kalau tidak sadar apalagi tidak mensyukuri.
Rasul menegaskan, ada kalanya Allah
menguji hamba-Nya dengan penyakit. Sebab terkadang, manusia menjadi lebih dekat
dengan Allah jika tengah berbaring di atas ranjang karena sakit. Dia ingat
kepada Allah dan selalu berdoa agar diberi sehat.
Jadi, sakit menjadi sarana
penyadaran sehingga mengetahui bahwa sehat itu begitu penting dan mahal. Dengan
sakit, muncul kesadaran untuk lebih dekat kepada Allah.
Padahal ketika sehat
susahnya mengajak ibadah bukan main. Selain sering lupa Allah terkadang berani
melanggar ketentuan Allah. Maka, orang seperti itu lantas disentil oleh Allah
dengan cara mendatangkan penyakit kepadanya agar “tahu diri”.
Sebaliknya ada juga orang yang apabila diberi
sehat maka taqorrubnya (mendekatnya)
kepada Allah semakin menjadi-jadi. Begitu diberi sakit, dia malah malas
beribadah kepada Allah. Itu sebabnya, tipe orang seperti ini agar tidak menjauh
dari Allah dia diberinya sehat.
Dengan kata lain, sehat dan sakit
membawa hikmah. Tergantung kepandaian seseorang melihatnya. Orang yang ilmunya
diwarnai iman, selalu mengaitkan sehat dan sakit dengan Allah. Maka, ketika dia
sakit berupaya untuk tabah dan ketika mendapat nikmat dia berupaya bersyukur.
Malah bagi kalangan orang-orang
alim, dan orang terpilih, menyikapi sakit dengan perasaan syukur. Saat sakit
merasa sedang “disapa” Allah. Maka, tidak ada kata sesal sedikit pun. Bahkan
untuk meminta kesembuhan juga ada rasa malu karena dibanding sehat dengan
sakitnya dia merasakan lebih banyak sehatnya.
Sakit dianggap sebagai nikmat juga.
Allah mengasihani. Dengan sakit, dia tidak akan lupa lagi kepada Allah. Coba
dengar apa kata Nabi Ayub. Setelah sembilan tahun menderita sakit, istrinya
mengatakan, “Anda kan Rasul Allah, apa tidak sebaiknya berdoa saja supaya
diberi kesembuhan?”. Nabi Ayub menjawab bahwa dirinya malu kepada Allah karena
antara sakit dengan sehat yang dirasakan lebih lama sehatnya.
Singkatnya, orang yang memiliki iman
yang mendalam, sakit dirasakan sebagai kenikmatan ruhani. Ia merasakan sebagai
kasih sayang Allah. Justru sebaliknya ada yang koreksi diri jangan-jangan sehat
merupakan nikmat dan sehat yang dirasakan merupakan ujian terhadap kesungguhan
iman kita. Bisa jadi orang yang selalu sehat malah lupa kepada Allah. Maka
hati-hatilah? (*)
0 komentar:
Posting Komentar