Senin, 19 Januari 2015


Tulisan dengan judul “Sehat atau Sakit Bersyukurlah” Ini  ditulis ketika sedang berada di RSUD Haryoto. Yaitu, ketika mendampingi ibu – sudah almarhumah-- yang berbaring lemah di rumah sakit. Waktu itu, tiga tahun silam, saya menghayati suasana batin. Selama ibu sakit terasa benar bahwa nikmat sehat itu begitu mahal dan berharga.

Mungkin bagi dokter, suasana rumah sakit itu biasa. Sebab setiap hari menjadi tugas rutinnya. Tetapi bagi kebanyakan orang, khususnya yang mengantar keluarganya berobat, merenungi sakit dan sehat itu sungguh menggores jiwa. Ada kenangan dan nilai tersendiri.

Ada pemandangan yang tidak lazim. Selama 24 jam rumah sakit terus “hidup”. Ada yang datang dengan luka parah, ada yang didorong di atas kursi roda, di dorong di atas ranjang, ada yang dikirim menuju ICU, ada yang tiba-tiba menangis, memecah keheningan malam karena saudaranya dipanggil yang Maha Kuasa, ada yang dinaikkan ke ambulance, ada yang ceria, senyum dan tertawa karena si pasien boleh pulang, dll.

Semua itu memperkaya batin. Ada lompatan pikiran yang tidak seperti biasanya ketika berada di rumah yang selalu datar-datar saja. Ada kesadaran spiritual di dalam jiwa bahwa nikmat sehat itu sungguh pemberian yang luar biasa dari Sang Pencipta. Sungguh tak tahu diri kalau tidak sadar apalagi tidak mensyukuri.

Rasul menegaskan, ada kalanya Allah menguji hamba-Nya dengan penyakit. Sebab terkadang, manusia menjadi lebih dekat dengan Allah jika tengah berbaring di atas ranjang karena sakit. Dia ingat kepada Allah dan selalu berdoa agar diberi sehat.

Jadi, sakit menjadi sarana penyadaran sehingga mengetahui bahwa sehat itu begitu penting dan mahal. Dengan sakit, muncul kesadaran untuk lebih dekat kepada Allah. 

Padahal ketika sehat susahnya mengajak ibadah bukan main. Selain sering lupa Allah terkadang berani melanggar ketentuan Allah. Maka, orang seperti itu lantas disentil oleh Allah dengan cara mendatangkan penyakit kepadanya agar “tahu diri”.

Sebaliknya ada juga orang yang apabila diberi sehat maka taqorrubnya (mendekatnya) kepada Allah semakin menjadi-jadi. Begitu diberi sakit, dia malah malas beribadah kepada Allah. Itu sebabnya, tipe orang seperti ini agar tidak menjauh dari Allah dia diberinya sehat.

Dengan kata lain, sehat dan sakit membawa hikmah. Tergantung kepandaian seseorang melihatnya. Orang yang ilmunya diwarnai iman, selalu mengaitkan sehat dan sakit dengan Allah. Maka, ketika dia sakit berupaya untuk tabah dan ketika mendapat nikmat dia berupaya bersyukur.

Malah bagi kalangan orang-orang alim, dan orang terpilih, menyikapi sakit dengan perasaan syukur. Saat sakit merasa sedang “disapa” Allah. Maka, tidak ada kata sesal sedikit pun. Bahkan untuk meminta kesembuhan juga ada rasa malu karena dibanding sehat dengan sakitnya dia merasakan lebih banyak sehatnya.

Sakit dianggap sebagai nikmat juga. Allah mengasihani. Dengan sakit, dia tidak akan lupa lagi kepada Allah. Coba dengar apa kata Nabi Ayub. Setelah sembilan tahun menderita sakit, istrinya mengatakan, “Anda kan Rasul Allah, apa tidak sebaiknya berdoa saja supaya diberi kesembuhan?”. Nabi Ayub menjawab bahwa dirinya malu kepada Allah karena antara sakit dengan sehat yang dirasakan lebih lama sehatnya.

Singkatnya, orang yang memiliki iman yang mendalam, sakit dirasakan sebagai kenikmatan ruhani. Ia merasakan sebagai kasih sayang Allah. Justru sebaliknya ada yang koreksi diri jangan-jangan sehat merupakan nikmat dan sehat yang dirasakan merupakan ujian terhadap kesungguhan iman kita. Bisa jadi orang yang selalu sehat malah lupa kepada Allah. Maka hati-hatilah? (*)


0 komentar:

Posting Komentar

Unordered List

Sample Text

Diberdayakan oleh Blogger.

Lembaga Pelatihan "The Power Of Love"

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget