Kita tak
mungkin sampai di lantai paling atas jika tidak melalui lantai paling bawah.
Begitu juga orang sukses, pasti diawali dari nol. Orang yang langsung
bertengger di atas itu berbahaya karena belum terlatih merasakan bagaimana
susahnya naik secara bertahab.
Bagi
seseorang, pengalaman “gagal” itu perlu. Jika tidak pernah gagal, atau jika
selalu menang, sukses dan selalu berhasil,
bisa menyebabkan seseorang selalu mendongak, sombong. Anak orang besar
yang selalu dilindungi menjadikan dia sering tidak terkontrol sikapnya.
Penulis
pernah berkunjung ke salah satu prayuwana, anak-anak di sana sebagian besar
anaknya pejabat atau orang yang punya kedudukan penting. Karena posisinya itu,
dia tidak sempat memberi perhatian kepada anaknya sehingga mereka mencari
“teman” di luar rumah dengan pilihan yang salah.
Sebaliknya,
jika anak selalu gagal, maka hidupnya menjadi minder, tidak percaya diri,
selalu takut salah. Kelak kalau menjadi menjadi orang, maka tidak mempunyai
keberanian untuk menentukan kebijakan,
menanggung risiko, dan ada kecenderungan tidak bertanggungjawab. Bagi anak ggal
dan sukses sama-sama perlu sebagai proses pembelajaran.
Gagal dan sukses itu bertepi. Seseorang tidak selamanya hidup dalam kegagalan atau selamanya sukses. Hidup berada di antara dua “mahkluk”
gagal dan sukses. Mengapa begitu? Agar manusia terus bekerja
keras, penuh hati-hati,
dan selalu membutuhkan orang lain dalam hidup yang saling membutuhkan, ada ucapan terima kasih, bersyukur dan saling
meminta maaf jika khilaf.
Gagal itu, disesuaikan dengan
kemampuan, begitu juga sukses. Tidak mungkin Allah memberi kegagalan luar biasa
sampai tak sanggup menanggungnya. Dan, begitu juga dengan sukses, tidak ada
orang sukses secara berlebihan sehingga tak kuasa merasakannya. Si Bolang yang
hidupnya sebagai buruh tani, susah menjadi perdana menteri. Sebab, kalau hal
itu terjadi dia akan bersedih karena tak mampu menjalani.
Lihat saja istri Ibrahinovic, orang
terkaya di Rusia. Sejak diperistri orang yang super kaya, perasaannya malah tidak
enak. Ke mana-mana dijaga bodiguard berjumlah belasan orang. Hak pribadinya merasa
“terampas”, ke mana-kemana diikuti. Ada perasaan tidak nyaman dengan perlakuan istimewa
tersebut akhirnya jiwanya berontak. Tampaknya menjadi istri orang kaya tidak
bertahan lama, setelah 23
tahun hidup berumah tangga, dia pun meminta
cerai. Begitu juga dengan istri ke duanya, minta cerai setelah tiga tahun
dinikahinya.
Ini menunjukkan kepada kita bahwa
kisah sukses yang “terlalu hebat” menjadikan seseorang tidak nyaman juga. Kalau
tokh ada anak petani yang lantas “ditakdirkan” menjadi presiden itu bukan
terjadi tiba-tiba, melainkan karena proses panjang, hasil perjuangan dan kerja
keras, dan mungkin karena momentum yang berpihak kepada dirinya. Itulah yang
dialami pak Harto anak petani. Tapi kan masuk TNI dulu, baru menjadi presiden
alias melalui proses.
Yang sering kita lihat adalah,
banyak orang sukses kemudian jatuh melata dalam kubangan kehancuran. Lihat
Muammar Kadhafi.
Setelah 30 tahun menjadi Perdana Menteri Libya, dia akhirnya terkapar di tangan
rakyatnya sendiri. Dia dibunuh oleh orang yang dipimpinnya. Bukan hanya itu,
jenazahnya tidak segera dimakamkan, di letakkan di lantai agar semua rakyatnya
bisa melihat dan berfoto bersama, foto kenangan, dan kenangan atas kejatuhan
rezim Kadhafi. Seorang
pemimpin yang dianggap tidak
mau mendengar suara rakyatnya.
Lihat bagaimana Saddam Husein.
Presiden Iraq yang disegani rakyatnya akhirnya jatuh dalam keadaan hina. Dia
bersembunyi dalam sebuah lubang yang diberi cerobong untuk bernafas. Dia
ditangkap dalam pelariannya yang sepi pengawal. Setelah itu Saddam harus
menerima kenyataan pahit, yaitu meninggal di atas gantungan oleh tentara Amerika yang
memperlakukan mantan presiden secara tidak manusiawi. Presiden jatuh hina. Dua
contoh tersebut adalah pengecualian dari kejadian ekstrem yang dialami anak
manusia. Sementara yang lain, orang sukses yang jatuh itu sering kita lihat
masih dalam batas “wajar-wajar” saja.
Maka yang perlu kita ingat kalau
kita sedang gagal, yakinlah di depan mata sudah tergambar kisah sukses yang
akan datang dalam hitungan hari. Sebaliknya, kalau kita sedang sukses,
percayalah kesuksesan itu tidak ada yang abadi. Di
belakang “rumah” kehidupannya tengah mengintip kegagalan yang akan
menggerogoti. Sukses dan sukses yang dimaksud adalah dalam banyak hal, mungkin
dalam hal harta, kesehatan, kedudukan, status sosial, dll.
Ada baiknya kita baca kembali
nasehat Ibrahim bin Adham kepada pemuda yang tengah merasa gagal menjaga
ibadahnya sehingga dia khilaf melakukan perbuatan dosa. “Apa nasehat Tuan
kepada saya agar tidak berbuat dosa lagi?,” tanya pemuda tersebut.
Ibrahim bin Adham menyebutkan ada
lima hal yang kalian lakukan. Apa itu
Tuan?, tanyanya. Pertama, kalau engkau akan melakukan maksiat lagi, berjanjilah
selamanya tidak akan makan rezeki dari Allah. Si pemuda bingung, lanstas makan dari mana? Lantas apa lagi
Tuan?, pintanya. Kedua, kalau engkau akan melakukan maksiat, berjanjilah engkau
tidak akan tinggal di buminya Allah. Lho kok tambah sulit, ujar pemuda.
Oh iya, lantas apa lagi Tuan?,
ujarnya lagi. Ketiga, kalau engkau akan berbuat maksiat, katakan pada dirimu,
saya akan lakukan perbuatan maksiat di tempat yang tidak ada yang
mengetahuinya. “Ini juga tidak bisa, sebab Allah Maha Melihat, “ sergahnya.
Yang ke empat apa Tuan?. Begitu kalau engkau akan melakukan maksiat, teruskan
saja, tapi kalau engkau bisa meminta waktu kepada malaikat Izrail yang akan
mencabut nyawamu agar ditunda untuk
memberi kesempatan bertaubat kepada Allah. Apa ya bisa?, bisik pemuda
Katanya ada lima hal, lantas yang ke
enam apa Tuan? Yang terakhir ini, kalau engkau akan melakukan perbuatan
maksiat, jika kelak malaikat Zabaniah akan melemparmu ke neraka, tolaklah.
Masya Allah ke lima-limanya tidak bisa saya lakukan Tuan. Nah, kalau begitu
jangan lagi ada keinginan dalam hati untuk melakukan perbuatan dosa, saran
Ibrahim bin Adham yang disambut anggukan kepala si pemuda tadi.
0 komentar:
Posting Komentar