Usianya masih muda. Tapi, jiwanya begitu dewasa. Ia telah
menjadi “bapaknya” umat. Khususnya warga mualaf dan warga marginal. Pikiran dan
tenaganya dipergunakan untuk menyapa, membina, dan menyantuni warga.
Kondisi ekominya tak terlalu baik. Tapi dia merasa cukup.
Tak ada keluh kesah. Bersama istrinya selalu berbaur dengan umat. Warga yang
semula tidak tertarik melaksanakan shalat –karena tidak tahu bacaannya—dituntunnya
sehingga bisa, hafal, dan ingin ikut shalat berjamaah bersama umat Islam yang lain.
Anak-anak yang selama ini “menghabiskan” waktu untuk dolan,
diarahkan naik ke masjid untuk belajar iqo’, tajadid (metode baca al quran)
sehingga mereka percaya diri dan mau mengaji. Dzikir dikenalkan, asmaul husna
dihafal oleh anak-anak di lereng Gunung Bromo.
Desa Wonocepoko Ayu Kec. Senduro-Kab. Lumajang yang semula
sepi kegiatan agama, kini menjadi “hidup”. Waktu masuk shalat terdengar
kumandang adzan, pujian, anak ngaji, dan kegiatan keagamaan lain. “Kami
bersyukur dengan perkembangan ini,” ujar ustadz Dayat yang usianya baru 30
tahunan.
Untuk sekedar menopang ekonominya, ustdz dayat menanam
pisang emas di belakang masjid. Kalau panen, hasilnya sebagian disimpan untuk
kas dakwah, sebagian kecil untuk diri dan keluarganya. Tak ada sumber
penghasilan lain. Ada “upah” bulanan yang tak seberapa besar, itu pun sering
terlambat karena para donatur tak mesti lancar.
Bagi ustadz yang kini masih kuliah S-1 Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah
ini, jauhnya jarak ke kota –30 km—dengan kondisi jalan parah, bukan penghalang
membina umat dan mencari ilmu ke kota. Ia berupaya membuka jaringan bersama
teman-teman seperjuangannya dengan komunitas muslim di kota.
Tujuannya, supaya mendapat bantun al quran, sembako, pakaian
layak pakai, dan pendampingan lain. Para mualaf itu butuh disapa, didampingi,
dan dikuatkan. Warga butuh pembinaan, tuntunan, dan contoh langsung. Ust. Dayat
paham semua itu. Ia persembahkan pikiran, tenaga, waktu dan kemampuannya untuk
para mualaf. (*)
0 komentar:
Posting Komentar