Orang-orang hebat terdahulu selalu
berhati-hati dalam bergaul dengan orang lain. Mereka menjaga ucapan dan
tindakannya agar tidak menyinggung perasaan orang lain apalagi menyakiti. Kalau
karena khilaf sampai menyinggung atau menyakiti orang lain, mereka langsung
meminta maaf kepada orang yang bersangkutan.
Para ahli sorga itu hidupnya selalu terjaga
agar hatinya tidak terjangkit penyakit sombong. Sebab, seperti dikatakan Nabi,
jika di hati seseorang ada kesombongan meski sebesar atom tidak bisa masuk sorga. Calon penghuni sorga selalu menjaga
hatinya agar tidak terperosok ke dalam perbuatan yang dilarang agama.
Utsman bin Affan, suatu ketika jengkel kepada
pembantunya. Utsman
marah sampai menjewer telinga pembantunya. Setelah kejadian itu, dia menyesal bukan main sampai-sampai
tidak bisa tidur. Esok harinya Usman
meminta pembantunya untuk membalasnya. Pembantunya jelas tidak mau, masak ada pembantu njewer khalifah.
Namun Usman memaksanya sampai akhirnya pembantunya menuruti.
Tampaknya
si pembantu malu, untuk menjewer Usman. Jeweran yang dilakukan sebatas memenuhi
permintaan majikannya. Sehingga dilakukan dengan pelan. “Keraskan jeweranmu,
karena balasan di dunia ini lebih ringan daripada di akhirat,” kata Utsman.
Itulah sikap pejabat di zaman khalifah.
Tidak mungkin dijumpai saat ini. Sampai sekarang belum pernah kita dengar
permintaan maaf dari pejabat
yang bersalah kepada rakyatnya. Lihat penggusuran terjadi di mana-mana, namun
pejabatnya tetap tenang-tenang saja. Malah suka adu argumentasi sebagai
pembenaran atas perbuatannya.
Memang
orang pintar itu bisa berkilah dengan berbagai dalih. Ketika sering dibutakan sehingga manut disuruh apa saja oleh pejabat. Rakyat disuruh mengencangkan ikat
pinggang padahal orang yang menyuruh
(pejabat) tetap hidup dalam
gelimang harta. Ironisnya kekayaan mereka hasil korupsi. Yang
demikian ini berarti telah melakukan kebohongan publik.
Andai Utsman bin Affan masih ada, mungkin kita diingatkan dengan peringatan keras. Apalagi mengambil hak rakyat (korupsi), salah berucap saja, Usman sampai merengek-rengek meminta maaf kepada pembantunya.
Hidup harus memberi
manfaat. Nabi Saw menegaskan, “Sebaik-baik orang adalah, mereka yang memberi
manfaat bagi orang lain.”
Manusia dapat
belajar dari lilin. Dia menerangi orang lain, bukan merusak kehidupan. Lebih
baik nyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Artinya berbuatlah sesuatu
agar memberi solusi tepat ketimbang menyalahkan keadaan. Jangan hidup seperti
duri yang mencucuk diri dan menyakiti orang lain.
Sebuah kalimat bijak mengatakan, “Matinya orang baik ibarat padamnya
lilin berwewangian. Ia menggantikan hilangnya cahaya dengan bau harum yang ia
tinggalkan.” (Owen Fellthan). Artinya, kita harus
selalu memberi kebaikan kepada lingkungan baik di masa hidup maupun setelah
tiada karena jasa kita.
Biasanya
orang yang demikian dirindukan orang lain. Ucapannya menjadi petuah bak
penyuluh di tengah kegelapan. Berbeda dengan orang yang apriori pada orang
lain. Dia tidak diperhitungkan. Bahkan kata Ali bin Abi Tholib, orang seperti
ini ibarat mayat hidup. Dia hidup tapi seperti mati karena tidak punya peran
apa-apa.
Kita
jangan menjadi orang yang tidak punya pendirian, seperti dikatakan dalam
peribahasa,” Kemana
kelok lilin, ke sana kelok loyang.” Dia menurut saja apa kata orang. Kata orang
Madura biasanya hanya,” Norok buntek”
alias ikut-ikutan. Kemana angin bertiup ke sana dia berjalan.
0 komentar:
Posting Komentar