Kamis, 18 Juni 2015




Orang-orang hebat terdahulu selalu berhati-hati dalam bergaul dengan orang lain. Mereka menjaga ucapan dan tindakannya agar tidak menyinggung perasaan orang lain apalagi menyakiti. Kalau karena khilaf sampai menyinggung atau menyakiti orang lain, mereka langsung meminta maaf kepada orang yang bersangkutan.
Para ahli sorga itu hidupnya selalu terjaga agar hatinya tidak terjangkit penyakit sombong. Sebab, seperti dikatakan Nabi, jika di hati seseorang ada kesombongan meski sebesar atom tidak bisa masuk sorga. Calon penghuni sorga selalu menjaga hatinya agar tidak terperosok ke dalam perbuatan yang dilarang agama.
Utsman bin Affan, suatu ketika jengkel kepada pembantunya. Utsman marah sampai menjewer telinga pembantunya. Setelah kejadian itu, dia menyesal bukan main sampai-sampai tidak bisa tidur. Esok harinya  Usman meminta pembantunya untuk membalasnya. Pembantunya jelas tidak mau, masak ada pembantu njewer khalifah. Namun Usman memaksanya sampai akhirnya pembantunya menuruti.
Tampaknya si pembantu malu, untuk menjewer Usman. Jeweran yang dilakukan sebatas memenuhi permintaan majikannya. Sehingga dilakukan dengan pelan. “Keraskan jeweranmu, karena balasan di dunia ini lebih ringan daripada di akhirat,” kata Utsman.
Itulah sikap pejabat di zaman khalifah. Tidak mungkin dijumpai saat ini. Sampai sekarang belum pernah kita dengar permintaan maaf dari pejabat yang bersalah kepada rakyatnya. Lihat penggusuran terjadi di mana-mana, namun pejabatnya tetap tenang-tenang saja. Malah suka adu argumentasi sebagai pembenaran atas perbuatannya.
Memang orang pintar itu bisa berkilah dengan berbagai dalih. Ketika sering dibutakan  sehingga manut disuruh apa saja oleh pejabat. Rakyat disuruh mengencangkan ikat pinggang padahal orang yang menyuruh (pejabat) tetap hidup dalam gelimang harta. Ironisnya kekayaan mereka hasil korupsi. Yang demikian ini berarti telah melakukan kebohongan publik.
Andai Utsman bin Affan masih ada,  mungkin kita diingatkan dengan peringatan keras. Apalagi mengambil hak rakyat (korupsi), salah berucap saja, Usman sampai merengek-rengek meminta maaf kepada pembantunya.

Nyalakan Lilin di Kegelapan
Hidup harus memberi manfaat. Nabi Saw menegaskan, “Sebaik-baik orang adalah, mereka yang memberi manfaat bagi orang lain.”
Manusia dapat belajar dari lilin. Dia menerangi orang lain, bukan merusak kehidupan. Lebih baik nyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Artinya berbuatlah sesuatu agar memberi solusi tepat ketimbang menyalahkan keadaan. Jangan hidup seperti duri yang mencucuk diri dan menyakiti orang lain.
Sebuah kalimat bijak mengatakan, “Matinya orang baik ibarat padamnya lilin berwewangian. Ia menggantikan hilangnya cahaya dengan bau harum yang ia tinggalkan.” (Owen Fellthan). Artinya, kita harus selalu memberi kebaikan kepada lingkungan baik di masa hidup maupun setelah tiada karena jasa kita.
Biasanya orang yang demikian dirindukan orang lain. Ucapannya menjadi petuah bak penyuluh di tengah kegelapan. Berbeda dengan orang yang apriori pada orang lain. Dia tidak diperhitungkan. Bahkan kata Ali bin Abi Tholib, orang seperti ini ibarat mayat hidup. Dia hidup tapi seperti mati karena tidak punya peran apa-apa.
Kita jangan menjadi orang yang tidak punya pendirian, seperti dikatakan dalam peribahasa,” Kemana kelok lilin, ke sana kelok loyang.” Dia menurut saja apa kata orang. Kata orang Madura biasanya hanya,” Norok buntek” alias ikut-ikutan. Kemana angin bertiup ke sana dia berjalan.

0 komentar:

Posting Komentar

Unordered List

Sample Text

Diberdayakan oleh Blogger.

Lembaga Pelatihan "The Power Of Love"

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget