Jumat, 26 Juni 2015


 
 
 
Kajian demi kajian diikuti. Nara sumber beragam. Ilmu saling melengkapi. Mudah-mudahan bermanfaat dan membekas dalam kehidupan.

Begitulah harapan. “Semoga nilai ramadhan membekas pada 11 bulan lainnya,” kata dr Halimi Maksum, MMRS Ketua PMI Lumajang dalam pengantar kajian Ramadhan. Acara ini diadakan setiap Jumat pagi.
Materinya beragam. Saya yang “didaulat” menjadi nara sumber antara lain mengajak peserta yang merupakan gabungan antara karyawan Balai Pengobatan Muhammadiyah dan karyawan PMI, untuk menjadi orang yang pandai bersyukur.

Alasannya, nikmat Allah begitu banyak. Allah menegaskan, Andai engkau akan menghidutung nikmat-Ku, tak mungkin bisa menghitungnya (karena begitu banyak). Salah satu nikmat yang kita lihat sehari-hari adalah, kita terlahir menjadi orang yang berada "di antara" dua kutup ekstrim dalam kehidupan.
Misalnya, tidak menjadi orang paling gemuk di dunia, yang dialami seorang pria asal Kanada dengan berat badan 413 kg. Lelaki yang belum sempat berkeluarga ini meninggal hari Ahad (21/6) lalu. Atau kita terlahir menjadi orang paling kurus di dunia, betapa tidak nyamannya hidup.

Kita bersyukur karena tdak menjadi orang dengan wajahpaling tampan di dunia, seperti yang dialami seorang pemuda Mekkah. Saking tampannya dia diusir dari negerinya karena merepotkan petugas. Banyak wanita tergila-gila padanya sehingga dianggap mengganggu keamanan daerah. Atau menjadi orang paling jelek di Urganda.

Atau menjadi orang terkaya seperti Billgate yang merasa tak nyaman, bingung ngurus kekayaan yang ibarat air tak kuasa membendung dari royalti hasil karyanya. Dan seterusnya. Bersyukur ini merupakan buah dari puasa.

Buah lain dari puasa adalah menjadi orang "taqwa". Yang kata nabi, taqwa itu takut kepada Allah dan takut berbuat maksiat.

Yang tidak kalah penting, buah dari puasa adalah melahirkan orang "cerdas".
Yaitu, cerdas emosi, cerdas sosial, cerdas spiritual, cerdas agama, cerdas perfomence, cerdas suara, dan kecerdasan yang lain. (*)



 
Kajian demi kajian diikuti. Nara sumber beragam. Ilmu saling melengkapi. Mudah-mudahan bermanfaat dan membekas dalam kehidupan.

Begitulah harapan kita. “Semoga nilai ramadhan membekas pada 11 bulan lainnya,” kata dr Halimi Maksum, MMRS  Ketua PMI Lumajang dalam pengantar kajian Ramadhan. Acara ini diadakan setiap Jumat pagi.
Materinya beragam. Saya yang “didaulat” menyampaikan materi, antara lain mengajak kepada peserta yang merupakan gabungan dengan karyawan Balai Pengobatan Muhammadiyah, untuk menjadi orang yang pandai bersyukur.

Alasannya, nikmat Allah begitu banyak. Allah menegaskan, Andai engkau akan menghidutung nikmat-Ku, tak mungkin bisa menghitungnya (karena begitu banyak). Salah satu nikmat yang kita lihat sehari-hari adalah, kita terlahir menjadi orang yang berada di antara dua kutup ekstrim dalam kehidupan.

Misalnya, tidak menjadi orang paling gemuk di dunia, yang dialami seorang pria Enggris dengan berat badan 413 kg. Lelaki yang belum sempat berkeluarga ini meninggal hari Ahad (21/6) lalu. Atau menjadi orang 
paling kurus di dunia, betapa tidak nyamannya hidup.

Atau menjadi orang yang wajahnya paling tampan di dunia, seperti yang dialami seorang pemuda Mekkah. Saking tampannya dia diusir dari negerinya karena merepotkan. Banyak wanita tergila-gila padanya sehingga dianggap mengganggu keamanan daerah. Atau menjadi orang paling jelek di Urganda.

Atau menjadi orang terkaya seperti Billgate yang merasa tak nyaman, bingung ngurus kekayaan yang ibarat air tak kuasa membendung dari royalti hasil karyanya. Dan seterusnya. Bersyukur ini merupakan buah dari puasa.

Buah lain dari puasa adalah menjadi orang taqwa. Yang kata nabi, taqwa itu takut kepada Allah dan takut berbuat maksiat.

Yang tidak kalah penting, buah puasa melahirkan orang cerdas. Yaitu, cerdas emosi, cerdas sosial, cerdas spiritual, cerdas agama, cerdas perfomence, cerdas suara, dan kecerdasan yang lain. (*)

Rabu, 24 Juni 2015






Walau tidak ada yang menjamin, empat pendapat tentang bahagia—harta, gelar, jabatan, dan agama—itu benar adanya. Tidak percaya? Coba tanyakan salah satu saja, yaitu soal harta. Tanyakan kepada orang miskin, apa penyebab bahagia bagi mereka? Jawabnya akan mengatakan bahagia itu kalau punya banyak harta. Sebaliknya bagi orang kaya harta bukan jaminan bisa bahagia.

Begitu  juga halnya dengan gelar dan jabatan, bagi orang yang belum merasakan lezatnya gelar dan jabatan melihat keduanya penuh daya tarik, padahal dalam kenyataan banyak orang pusing karena gelar dan jabatan.
Konon, ribuan tahun, para pemikir sibuk membincangkan kebahagiaan. Di mata para ahli, kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersifat kondisional. Kebahagiaan bersifat temporal. Jika dia sedang kejayaan, di situ ada kebahagiaan.
Dalam pandangan ini, orang yang sedang jatuh, hilanglah kebahagiaannya. Tidak ada kebahagiaan abadi dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya sesaat, tergantung kondisi eksternal manusia. Inilah gambaran kondisi kejiwaan masyarakat Barat: "Mereka selalu mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa puas.
Dalam Islam, kebahagian itu tidak bersifat raga, atau harta. Kebahagiaan merupakan kondisi hati yang dipenuhi iman dan amal sesuai imannya. Coba ingat Bilal bin Rabah, dia merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Para sahabat nabi, rela meninggalkan kampung halamannya demi mempertahankan iman. Mereka bahagia. Hidup dengan keyakinan dan menjalankan keyakinan.
Imam al Ghazali, mengatakan puncak kebahagiaan manusia, jika berhasil mencapai ma'rifatullah, atau mengenal Allah Swt. "Ketahuilah bahagia tiap sesuatu bila terasa nikmat dan lezat menurut perasaan masing-masing. Kelezatan (mata) melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain.
Ada pun kelezatan hati ialah ma'rifat kepada Allah, karena hati dijadikan tidak lain untuk mengingat Tuhan. Seorang rakyat jelata sangat gembira kalau dia berkenalan dengan seorang pejabat tinggi atau menteri; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan yang lebih tinggi lagi misalnya raja atau presiden.
Tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari kegembiraan. Lebih dari apa yang dapat dibayangkan  oleh manusia, sebab tidak ada yang lebih tinggi dari kemuliaan Allah. Dan oleh sebab itu tidak ada ma'rifat yang lebih lezat daripada ma'rifatullah.
Maka ma'rifalullah adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan. bahwa tiada Tuhan selain Allah" (Laa ilaaha illallah). Untuk itulah, untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi, manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan mengenal ayat-ayat-Nya, baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah.
Banyak ayat al Quran yang memerintahkan manusia memperhatikan dan memikirkan tentang fenomana alam semesta, termasuk memikirkan dirinya sendiri. Disamping ayat-ayat kauniyah. Allah SWT juga menurunkan ayat-ayat qauliyah, berupa wahyu verbal kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad Saw. Karena itu, dalam QS Ali Imran 18-19, disebutkan, bahwa orang-orang yang berilmu adalah orang-orang yang bersaksi bahwa "Tiada tuhan selain Allah", dan bersaksi bahwa "Sesungguhnya ad-Din dalam pandangan Allah Swt adalah Islam."
Inilah yang disebut ilmu yang mengantarkan kepada peradaban dan kebahagiaan. Setiap lembaga pendidikan. khususnya lembaga pendidikan Islam. harus mampu mengantarkan sivitas akademika-nya menuju kepada tangga kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Kebahagiaan yang sejati adalah yang terkait antara dunia dan akhirat.
Kriteria inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu program pendidikan (ta'dib) berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan dalam Islam bukan diukur dari berapa mahalnya uang hayaran sekolah; berapa banyak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri dan sebagainya. Tetapi apakah pendidikan itu mampu melahirkan manusia-manusia yang beradab yang mengenal Tuhannya dan beribadah kepada Penciptanya.
Manusia-manusia yang berilmu seperti inilah yang hidupnya hahagia dalam keimanan dan keyakinan: yang hidupnya tidak terombang-ambing oleh keadaan. Dalam kondisi apa pun hidupnya bahagia, karena dia mengenal Allah, ridha dengan keputusanNya dan berusaha menyelaraskan hidupnya dengan segala macam peraturan Allah yang diturunkan melalui utusan-Nya.
Sebagai orang Muslim, kita tentu mendambakan hidup bahagia semacarn itu; hidup dalam keyakinan: mulai dengan mengenal Allah dan ridha, menerima keputusan-keputusan-Nva, serta ikhlas menjalankan aturan-aturan-Nya. Kita mendambakan diri kita merasa bahagia dalam menjalankan shalat, kita bahagia menunaikan zakat, kita bahagia bersedekah, kita bahagia menolong orang lain, dan kita pun bahagia menjalankan tugas amar ma'ruf nahi munkar.
"Dan jika kita fakir miskin, senangkan pula hati kita! Karena telah terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang sering menimpa orang-orang kaya. Senangkanlah hati karena tak ada orang yang akan hasad dan dengki lagi, lantaran kemiskinan..."
"Kalau engkau dilupakan orang, kurang masyhur, senangkan! Karena lidah tidak banyak yang mencela, mulut tak banyak mencaci..." Mudah-mudahan. Allah mengaruniai kita ilmu yang mengantarkan kita pada sebuah keyakinan dan kebahagiaan abadi, dunia dan akhirat. (*)
 

Selasa, 23 Juni 2015







Normalnya, bekerja dilakukan siang hari. Tetapi, tidak demikian bagi sebagian orang. Terutama jika bekerja menggunakan system shif. Jika kena giliran kerja malam hari, dia harus beranjak dari tidurnya untuk menunaikan tugas disaat orang lain tidur nyenyak. Terhadap orang yang bekerja malam hari, secara kelakar ada yang meledek seperti meniru kehidupan kelelawar. Keluar dari rumah malam hari, tidur dan istirahat siang hari.

Yang ideal, penggunaan waktu sesuai “seruan” dari Sang Pencipta waktu. Yaitu, siang untuk bekerja, malam untuk istirahat. Allah SWT berjanji akan mengangkat derajat orang yang menjaga waktu malam untuk shalat lail ke posisi yang mulia.

Nabi SAW memberi contoh kepada kita. Beliau sangat disiplin mengisi waktu. Misalnya, saat larut malam, Nabi mulai berjuang keras untuk bangun dan mengisinya. Nabi punya 7 kebiasaan harian yang layak kita tiru. Yaitu sebagai berikut:

Pertama, Nabi SAW mengisi waktu malamnya  dengan shalat lail (tahajut). Ini merupakan kebiasaan yang dijaga dengan sungguh-sungguh. Dalam banyak penjelasan disebutkan bahwa Nabi kalau berdiri shalat lail begitu lama sehingga kakinya bengkak saking lamanya berdiri.

Kedua, beliau melakukan tadabbur Quran (merenungi) isi Al Quran. Dengan demikian, Al Quran bukan sekedar dibaca tetapi juga direnungkan kandungannya. Suatu ketika Bilal bin Rabbah usai kumandang adzan Subuh, tetapi Nabi tidak kunjung datang. Bilal segera ngetok pintu rumah Nabi. Ternyata diketahui Nabi dalam keadaan menangis. “Ada apa ya Rasulullah engkau menangis?” Nabi menjawab, Jibril baru saja menyampaikan wahyu, “Sesungguhnya terciptanya langit dan bumi, terjadinya siang dan malam merupakan bukti bagi orang berakal.” Ali Imron ayat 190. Ayat itu direnunginya secara mendalam sehingga air mata nabi menetes.

Ketiga, nabi melaksanakan shalat Subuh berjamaah di masjid. Beliau mengatakan bahwa orang yang istiqomah shalat Subuh berjamaah 40 hari berturut-turut, maka diselamatkan dari penyakit nifaq. Dengan menjalankan salat Subuh, hati seseorang akan damai sehingga detik demi detik, menit ke menit dan jam-jam berikutnya akan dilalui dengan pesan shalat tersebut.

Keempat, setelah matahari agak tinggi, Nabi melaksanakan shalat Dhuha. Yaitu, shalat yang ditekankan oleh Nabi untuk “mengetuk” pintu langit agar mendapat kelancaran rezeki. Dalam hadits Qudsi Allah berjanji, orang yang melakukan shalat Dhuha empat rakaat, rezeki sehari itu akan dicukupi.

Kelima, beliau bertanya, hari ini akan berbuat baik apa kepada orang lain. Ini kebiasaan yang perlu dikembangkan dalam kehidupan kita agar eksistensi kita memberi manfaat bagi orang lain. Kata Nabi, “Khoirun nas anfa’uhum linnas” Sebaik-baik manusia adalah mereka yang memberi manfaat bagi orang lain.”

Keenam, Nabi menjaga wudhunya. Atau kita perlu menjaga pesan wudhu, yaitu menjaga kesucian lisan, penciuman, pendengaran, tangan dan kaki. Ketujuh, Nabi menjaga dzikirnya kepada Allah SWT. Hati dan pikirannya selalu terjalin erat dengan Allah. Orang yang demikian, maka setiap langkahnya selalu merasa dalam pantauan Allah.

Begitulah Nabi dalam mengisi waktu. Sangat tertib. Dalam hadits Qudsi, Allah berfiman, “Hai anak Adam gunakan waktu untuk beribadah kepadaKu, Aku penuhi dadamu kekayaan dan menutupi kemiskinan. Dan bila engkau tidak berbuat –beribadah—Aku penuhi dadamu dengan kerepotan dan tidak Aku tutupi kemiskinanmu (Diriwayatkan Attirmidzi)

Begitulah pentingnya mengisi waktu dengan ibadah. Dengan demikian, waktu yang Allah berikan kepada kita tidak ada yang mubadzir. Seluruh waktu diisi dengan kebaikan, secara vertikal maupun yang bersifat horizontal. (*)


Senin, 22 Juni 2015





Apa motivasi ibadah kita? Hati-hati, salah menata niat bisa salah arah. Ibadah yang benar adalah ibadah yang didorong oleh ketulusan hati karena merasa butuh karena “desakan” jiwa yang selalu rindu akan Allah.

Rabiah Al-Adawiah, seorang yang dikenal sangat alim  membagi motivasi ibadah seseorang itu ada tiga macam.

Pertama, ibadah karena takut siksa neraka. Ibadah dikaitkan dengan siksa Allah sehingga di hatinya ada rasa takut, kalau tidak beribadah kelak dimasukkan neraka. Dalam hati kecil orang seperti ini ada rasa takut siksa Allah. Perasaan itu mendorong dia giat ibadah. Motivasi seperti ini baik, tetapi merupakan tingkatan paling rendah. Alias masih awam.

Kedua, beribadah karena ingin masuk sorga. Orang seperti ini, dalam beribadah membayangkan sorga sehingga bersemangat. Motivasi seperti ini juga bagus. Tetapi jika terus menerus dilakukan maka tidak ubahnya seperti pedagang yang selalu menghitung untung-rugi.

Yang perlu dikejar adalah motivasi yang tertinggi ini. Yaitu, beribadah karena rindu kepada Allah. Inilah motivasi yang paling hebat dan sempurna. Tidak peduli dirinya masuk neraka atau sorga sepanjang dicintai Allah itu merupakan kebahagiaan yang tiada tara.

Yang terpenting, dengan beribadah gelora rindu betemu Allah tersalur. Ia merasakan mencapai kepuasan ruhani yang amat dalam. Inilah maqom yang sangat tinggi. Sekali lagi, dalam pandangan orang yang maqom seperti ini tidak melihat apakah dimasukkan neraka atau sorga, jika hal itu dikehandari Zat Yang Maha dicintai dirinya rela. Yang penting semuanya atas kehendak kekasih yang selalu dirindu: Allah.

Logikanya, kalau dia ditempatkan di neraka sanggup apalagi di sorga. Tentu saja sangat bersyukur karena sorga merupakan tempat orang-orang terpilih, terkasih, dan di situ tempat layak bagi hamba yang selalu mementingkan ibadah. Orang yang motivasi ibadahnya karena rindu
Allah, maka merasakan kelezatan ruhani. Ia menyatu dengan Allah.

Pertanyaannya, kita masuk kelompok mana dari ketika hal tadi? Yang tahu jawabannya kita sendiri. Kalau motivasi ibadah masuk kelompok pertama, hendaknya ditingkatkan menjadi kelompok kedua. Kalau motivasi ibadahnya ingin sorga, ditingkatkan lagi karena dorongan rindu kepada Allah.

Motivasi yang ketiga ini dicapai oleh orang-orang yang imannya telah mencapai maqom qonitin (tanpa reserve). Hatinya paham bahwa kerinduan kepada Allah yang selalu bergelora dapat mengantarkan dirinya menuju tempat mulia di sisi-Nya. *





Unordered List

Sample Text

Diberdayakan oleh Blogger.

Lembaga Pelatihan "The Power Of Love"

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget